Jumat, 27 Mei 2016

Meski Tanpa Perkenalan

Kamu ingat, kan, saat pertama kali kita berdekatan? Meskipun tanpa kamu memperkenalkan namamu, meskipun tanpa kamu menjabat tanganku, meskipun kamu hanya memanggilku dengan sebutan kakak setiap harinya. Aku sudah bahagia dengan posisi ini, meskipun sejujurnya aku pun tidak tahan ketika kamu memegang tangan putih itu didepan pintu kelas. Ya, pertemuan kita hanya antara sesama siswa. Tapi, apakah salah jika aku menuntut harapan lebih untukmu? Aku tau kita berdua sudah memiliki kekasih masing-masing. 
Tapi, apakah rasa nyamanku ini salah?

Mungkin besok adalah hari terakhir kita duduk bersama. Mungkin besok adalah hari terakhir dimana kita bisa duduk sedekat itu hingga lengan kita sering bertemu. Aku hanya tak bisa melupakan setiap kenangan-kenangan yang terjadi disini. Ya, salahku, karena aku melewati batasanku. Aku duduk bersamamu sedangkan pacarmu duduk bersama pacarku. Ya, hanya sebatas kelas ujian. Dan ini akan segera berakhir. Tak dapat kusangkal perasaan nyaman yang hadir dalam tempo hari kurang dari seminggu ini. Salahkah?

Aku pasti akan merindukan kedekatan kita. Rindu pada hal-hal yang kau lakukan. Taukah kau bahwa setiap hari aku terus memperhatikan caramu menjawab soal-soal ujian itu. Aku mulai hafal keluhan dan wajah menyerahmu. Aku akan terus mengingat caramu merayuku untuk membantumu menjawab soal-soal itu. Hanya aku yang berlebihan disini, aku yang berlebihan karena mengharapkanmu. Harusnya aku sadar dari awal bahwa kedekatan kita hanya antara kakak dan adik kelas. Harusnya perasaan ini pergi jauh dariku. 

Hatiku sangat sakit ketika melihatmu dan wanita itu bergandengan, dan saat kamu memegang tangan itu didepan pintu kelas. Wajahmu memancarkan kasih sayang ketika jemari putih itu kau genggam. Aku masih tak mengerti kenapa perasaan ini ada? Mengapa perasaan ini tiba-tiba hadir dalam waktu yang sangat cepat? Harusnya kita tidak ada, seharusnya tempat dudukku ini miliknya, bukan aku. 

Mengapa aku diberikan perasaan yang sama sekali tak kuinginkan? Aku hanya ingin hidup dengan duniaku yang seharusnya. Aku sungguh tak ingin terjebak cinta semu ini. Sungguh. Jika keadaan ini yang terjadi, mengapa kita diperkenalkan? Aku tak menginginkan ini lagi. Mengapa hal ini menjangkitiku dan menyiksaku? Tidak tenang rasanya menjadi tokoh figuran dalam kisah cintamu dan dia. Ini bukan skenario yang bisa dengan mudah diganti endingnya, bukan naskah drama yang bisa ditentukan akhirnya. 

Baiklah, semua ini akan segera berakhir. Aku akan berjalan kedepan menikmati hidupku bersama orang yang nyata. Tidak akan lagi terkungkung dalam kisahmu. Aku tak pantas untuk itu. Sekarang aku paham posisiku, paham akan dunia yang pantas untukku, dan berusaha memahami kenyataan untukku. Aku hanya tidak ingin hal ini terjadi untuk yang kesekian kalinya lagi nanti. Aku tidak akan pernah terjebak lagi. Tidak!

Semuanya berakhir. Tak ada lagi orang yang merayuku untuk membantu mengerjakan soal ujian, tak ada lagi senyum dengan lesung pipi yang tidak terlalu dalam itu, tidak ada lagi rasa cemburu ketika melihatmu bersamanya, tidak ada lagi lengan kita  yang bersentuhan saat mengerjakan soal-soal itu.      

Kamis, 26 Mei 2016

Roti Selai Cokelat

     Kulangkahkan kakiku melewati koridor kelas dengan membawa kotak makan berisi roti selai cokelat kesukaanmu. Aku tak sabar melihatmu melahap habis roti ini. Roti yang sesungguhnya menjadi pewakil perasaanku. Didepan pintu kelasmu, kulihat kamu sedang merogoh-rogoh isi tasmu.
“Hey! Lagi nyari apa?”sapaku dengan wajah riang seperti biasa. Kamu menoleh melihatku dengan mata sayumu itu. Lalu, senyummu mengembang lebar. Sangat manis.
“Kamu pasti belum sarapan? Nih, aku bawain roti selai cokelat kesukaanmu.”lanjutku lagi sambil menyerahkan kotak makan berisi roti selai coklat itu. Memang seperti ini yang biasa kita lakukan setiap pagi.
“Thanks.”jawabmu dan mulai memakan roti selai cokelat itu. Aku melihatmu diam-diam. Melihat caramu mengunyah roti itu, melihat caramu bercerita dengan mulut penuh, melihat tawamu yang selalu ingin kepertahankan, melihat matamu yang selalu ingin kuabadikan.
“Aku kekelas dulu. Aku bakal bawa rotinya lagi besok.”pamitku. Ya, kedekatan kita hanya sebagai teman sarapan dipagi hari. Tapi aku sungguh inginkan lebih.
     Kamu langsung menarik perhatianku saat pertemuan pertama kita. Aku sengaja datang lebih pagi agar bisa melihatmu memakan sarapan dariku. Terasa kehangatan setiap melihatmu. Aku merasa beruntung bisa sedekat ini. Percakapan ini hanya terjadi dipagi hari. Aku bingung manamai kedekatan ini. Kita tak punya hubungan ataupun kedekatan apapun.
***
     Pagi itu yang mengawali percakapan kita. Saat sedang upacara bendera, kita berdiri sejajar dengan jarak satu langkah yang memisahkan kelasku dan kelasmu. Kamu terlihat pucat dan sangat lemas. Tak sengaja kulontarkan kalimat basa-basi pertamaku.
“Kamu kenapa?”tanyaku yang merupakan awal percakapan kita. Kamu hanya menatapku dan menggeleng lemah.
“Belum sarapan, ya?”tebakku lagi.
“Biasanya juga seperti itu. Tapi kenapa baru sekarang perutku sakit?”
“Mungkin saja itu gejala magh. Lain kali harus sarapan, ya!”
“Aku selalu saja terlambat bangun dan jadi tidak sempat sarapan.”jawabmu sambil meringis. Itulah awal percakapan kita. Aku tidak menyangka akan jadi seperti ini.
     Esoknya aku datang lebih pagi dengan membawa kotak makan berisi roti selai cokelat. Aku menunggu didepan kelasmu hingga akhirnya kamu datang.
“Ini buat kamu. Roti selai cokelat. Karena kamu pasti belum sarapan kan? Aku tidak tega melihatmu meringis kesakitan lagi.”kuserahkan kotak makan yang berisi roti selai cokelat itu.
“Makasih. Mulai sekarang roti selai cokelat ini adalah favoritku.”ucapmu sambil tertawa dan menatapku.
***
     Kedekatan itu terus berlanjut setiap pagi harinya. Aku selalu membawakan roti selai cokelat untukmu setiap pagi dan diam-diam memperhatikanmu. Kemudian diam-diam mencintaimu. Tapi, perasaan itu tak pernah terungkap. Bahkan setiap harinya pun sama, aku berjalan menuju kelasmu dengan membawa roti selai cokelat.
     Kamu masih memakan roti selai cokelat ini tanpa terlihat jenuh. Meskipun memakan menu yang sama setiap pagi, kamu tak pernah bosan. Itu terlihat dari caramu melahap roti selai cokelat buatanku. Kamu bercerita tentang apapun yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. Kita terlihat seperti teman yang sangat dekat. Beberapa bulan belakangan ini, cukup meyakinkan perasaanku untukmu. Mungkin ini terlalu bodoh, aku bisa mencintaimu hanya dengan memberikan roti setiap paginya.
     Masih dengan langkah yang sama, dengan raut wajah yang sama, dan perasaan yang sama, aku kembali melangkah menuju kelasmu pagi ini. Mempersiapkan diriku untuk tersenyum manis ketika melihatmu. Meskipun dengan perasaan yang tak pernah kau tau, aku masih berharap banyak pada roti ini yang mungkin bisa memberikan sedikit kebahagiaan pada hatiku. Meskipun setelahnya aku harus sabar menunggu setiap matahari terbit untuk melanjutkan percakapan kita yang sesaat saja. Yang hanya terjadi sebelum bel pertanda masuk kelas berbunyi.
     Aku masuk kekelasmu dengan senyum yang sudah kulengkungkan sejak tadi. Tapi, tak kulihat sosokmu didalam kelas ini. Aku berlari keluar untuk menunggumu, karena kupikir mungkin saja kamu dalam perjalanan kemari. Aku tak sabar melihatmu memakan roti selai cokelat ini lagi.
     Tetapi, bahkan hingga bel pertanda masuk kelas berbunyi, kamu masih tidak kulihat. mungkin kamu tidak hadir hari ini. Kubuka tempat makan yang berisi roti itu, lalu kulahap disepanjang jalan menuju kelasku.
     Aku masih terus menunggumu didepan kelasmu setiap pagi dengan membawa roti selai cokelat ini. Setelah berminggu-minggu aku muak menunggumu. Kamu pergi begitu saja meninggalkan aku dan roti selai cokelat ini. Aku menyesal karena masih menyimpan perasaan ini. Aku menyesal hanya mencintaimu diam-diam selama ini. Mungkin aku hanya orang yang sok peduli hingga akhirnya benar-benar peduli. Kamu meninggalkanku dengan ketidak jelasan. Harusnya aku tak terlalu mengharapkanmu, harusnya aku sadar bahwa aku hanya teman sarapanmu.

     Aku menyesal karena tidak mengetahui apapun tentangmu. Kau tau, sekarang hanya aku yang memakan roti ini. Sendirian. Aku masih membawa roti ini setiap pagi. Aku masih berharap kau datang dan melahap roti ini disertai canda tawa kita. Aku masih terus menunggumu. Jika aku bertemu lagi denganmu nanti, sungguh, aku akan mengatakan semuanya padamu. Mengharapkan semua percakapan singkat kita kembali terjadi. Aku merindukan senyumanmu, aku merindukan tatapanmu, aku rindu caramu melahap roti selai cokelat dariku, aku rindu percakapan kita, aku rindu caramu berterimakasih, aku rindu saat-saat aku menunggumu didepan kelas, aku rindu saat aku mengamatimu diam-diam ketika kamu melahap roti itu.

Kamis, 19 Mei 2016

Aku Takut pada Kesibukanmu

     Sayang, mungkin kamu tidak tahu bahwa disini aku sangat cemas menanti kabarmu. Aku berusaha meyakinkan hatiku utuk tetap percaya kepadamu. Tapi, aku terlalu cemas pada kesibukanmu ini. Berhari-hari aku tetap sabar tanpa tahu apakah kamu baik-baik saja. Aku tau bahwa kamu terlalu sibuk memikirkan materi-materimu. Aku tau  bahwa semuanya akan segera berakhir. Tak bisa kupungkiri bahwa aku sangat takut.
     Sayang, aku tidak bisa membayangkan hari-hariku bersamamu akan terasa sulit. Mungkin kamu akan dipanggil untuk mengisi acara kesana-kemari. Tapi, sayang, hatiku selalu sakit ketika turun panggung dan penggemar-penggemarmu akan memintamu untuk memberikan sedikit lelucon untuk mereka. Harusnya aku bahagia dengan posisimu sekarang, ya sebagai kekasihmu aku bangga. Salahku karena kurang percaya padamu.
     Aku sungguh tidak tahan sayang. Perasaan takut dan cemas ini selalu menghantuiku. Aku harus selalu bisa mengendalikan diri demi kamu dan semua penggemarmu. Aku bahagia melihatmu mempunyai banyak penggemar, tapi hatiku salalu terasa menggantung dan sangat mengganggu.
     Bahkan hari ini pun, kamu masih sibuk rapat dan menyelesaikan apa yang harus kamu selesaikan. Aku masih terus menunggu sampai semua kesibukanmu selesai sayang. Aku ingin habiskan waktu bersamamu tanpa memikirkan semua materi dan penggemarmu. Karena mungkin sebentar lagi aku tidak akan bisa menikmati waktu berdua denganmu lagi.
     Mungkin memang harus lebih sabar dan terus percaya. Mungkin Tuhan lagi menguji sedalam apa cinta ini. Aku rasa kamu tau bagaimana perasaanku dengan caraku mencemaskanmu. Semoga ini akan segera berakhir.